Kesempatan kali ini adalah serial terakhir dari 10 Pelebur Dosa yang sebelumnya telah dibahas. Di antara sebab dosa bisa lebur adalah berkat syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi pelaku dosa besar, bisa pula karena musibah yang menimpa seorang muslim. Dan yang lebih besar dari itu semua adalah karena rahmat dan ampunan Allah.
Sebab Keenam: Syafa’at[1] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya pada pelaku (dosa besar)[2] di hari kiamat kelak.
Sebagaimana telah terdapat hadits mutawatir (dengan jalur periwayatan yang banyak) yang membicarakan tentang syafa’at. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih,
شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي
“Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari umatku.”[3]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خُيِّرْت بَيْنَ أَنْ يَدْخُلَ نِصْفُ أُمَّتِي الْجَنَّةَ ؛ وَبَيْنَ الشَّفَاعَةِ فَاخْتَرْت الشَّفَاعَةَ لِأَنَّهَا أَعَمُّ وَأَكْثَرُ ؛ أَتَرَوْنَهَا لِلْمُتَّقِينَ ؟ لَا . وَلَكِنَّهَا لِلْمُذْنِبِينَ المتلوثين الْخَطَّائِينَ
“Separuh dari umatku akan dipilih untuk masuk surga atau akan diberi syafa’at. Maka aku pun memilih agar umatku diberi syafa’at kareana itu tentu lebih umum dan lebih banyak. Apakah syafa’at itu hanya untuk orang bertakwa? Tidak. Syafa’at itu untuk mereka yang terjerumus dalam dosa (besar).”[4] [5]
Sebab Ketujuh: Musibah di dunia yang menjadi sebab terhapusnya dosa.
Sebagaimana disebutkan dalam shahihain (Bukhari-Muslim), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang)[6], kesusahan hati[7] atau sesuatu yang menyakiti[8] sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.”[9]
Sebab Kedelapan: Ujuan di alam kubur, juga siksaan dan kenikmatan yang menjadi sebab terhapusnya dosa-dosanya.
Sebab Kesembilan: Kengerian dan kesulitan pada hari kiamat.
Sebab Kesepuluh: Rahmat dan ampunan dari Allah tanpa sebab yang dilakukan oleh hamba.
Jika sudah jelas bahwa celaan dan hukuman akan terhindar pada pelaku dosa karena sepuluh sebab di atas, maka anggapan yang menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku dosa besar (al kabair) hanya bisa terhapus dengan taubat berarti menyelisihi keterangan di atas.
[10 Pelebur Dosa ini diterjemahkan dari Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 7: 487-501]
Baca artikel pelebur dosa yang lain:
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 18 Jumadats Tsaniyah 1433 H
[1] Syafa’at adalah meminta agar dihapuskan dosa dan kesalahan. Demikian kata Ibnul Atsir dalam An Nihayah fii Ghoribil Hadits wal Atsar 2: 485. As Safarini berkata bahwa syafa’at adalah meminta kebaikan untuk yang lain (Lawami’ul Anwar Al Bahiyah, 2: 204).
[2] Yang dimaksud pelaku dosa besar adalah orang yang berbuat dosa besar atau maksiat namun masih termasuk ahlu tauhid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikann syafa’at kepada pelaku dosa besar agar mereka keluar dari nereka setelah mereka mampir dulu di dalamnya. (Asy Syafa’ah ‘an Ahlis Sunnah war Rod ‘alal Mukholifina fiiha, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman Al Judai’, hal. 51).
Syarat seseorang mendapatkan syafa’at adalah sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Madarijus Salikin (1: 341),
فهذه ثلاثة أصول … لا شفاعة إلا بإذنه ولا يأذن إلا لمن رضي قوله وعمله ولا يرضى من القول والعمل إلا توحيده واتباع رسوله
“Inilah tiga ushul …: (1) Tidak ada syafa’at kecuali dengan izin Allah. (2) Tidak ada izin kecuali pada orang yang Allah ridhoi perkataan dan amalannya. (3) Tidak ada ridho pada perkataan dan amalan kecuali dengan bertauhid dan mengikuti ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Syarat pertama adalah untuk syaafi’ (orang yang memberi syafa’at). Syarat kedua dan ketiga adalah untuk masyfu’ lahu (orang yang diberi syafa’at).
Dalil yang mendukung tiga syarat di atas,
وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya)” (QS. An Najm: 26).
Dalam hadits, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لاَ يَسْأَلَنِى عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ ، لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ »
“Katakanlah wahai Rasulullah, siapa yang berbahagia karena mendapat syafa’atmu di hari kiamat nanti?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Abu Hurairah, aku merasa tidak ada yang bertanya kepadaku tentang hal ini selain engkau. Yang aku lihat, ini karena semangatmu mempelajari hadits. Yang berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya.” (HR. Bukhari no. 99)
[3] HR. Abu Daud no. 4739, Tirmidzi no. 2435 dan Ahmad 3: 213. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Tirmidzi no. 2441, Ibnu Majah no. 4317 dan Ahmad 2: 75. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani selain perkataan “قوله لأنها”.
[5] Dalam riwayat Tirmidiz, dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’iy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَانِى آتٍ مِنْ عِنْدِ رَبِّى فَخَيَّرَنِى بَيْنَ أَنْ يُدْخِلَ نِصْفَ أُمَّتِى الْجَنَّةَ وَبَيْنَ الشَّفَاعَةِ فَاخْتَرْتُ الشَّفَاعَةَ وَهِىَ لِمَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا
“Ada yang mendatangiku dari sisi Rabbku, aku disuruhh memilih antara memasukkan separuh dari umatku ke dalam surga atau memilih syafa’at. Aku pun memilih syafa’at dan ini akan diperoleh oleh orang yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun” (HR. Tirmidzi no. 2441. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
[6] Kata “وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ” keduanya adalah penyakit hati. (Lihat Fathul Bari, 10: 106)
[7] Kata “غَمٍّ” termasuk penyakit hati yang berarti kesempitan (kesulitan) yang diderita hati. Ada ulama yang merinci makna dari tiga kata “الْهَمّ وَالْغَمّ وَالْحُزْن”. Kata “الْهَمّ” muncul dari pikiran yang timbul bentuk menyakiti dari orang lain. Kata “وَالْغَمّ” timbul pada hati. Sedangkan “وَالْحُزْن” timbul karena sesuatu yang hilang sehingga membuat susah. (Lihat Fathul Bari, 10: 106)
[8] Ada yang menyatakan bahwa maksudnya adalah umum. Ada yang menyatakan khusus pada bentuk menyakiti dari orang lain padanya. (Lihat Fathul Bari, 10: 106)
[9] HR. Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573.